Rumah Dewan Makin Nyaman, Rakyat Cari Pinjaman

Di Banyumas, rumah ternyata bukan sekadar tempat berteduh. Ia bisa menjelma jadi simbol kekuasaan, kenyamanan, dan bahkan hadiah untuk mereka yang sudah cukup beruntung duduk di kursi DPRD. Lewat Peraturan Bupati (Perbup) Nomor 9 Tahun 2024, tunjangan rumah bagi anggota dewan resmi ditetapkan. Singkatnya: rumah dewan makin nyaman. Sementara itu, rakyat yang diwakili? Mereka makin sibuk mencari pinjaman.

Ironi ini lebih lucu daripada acara stand-up comedy. Bayangkan, wakil rakyat yang seharusnya memahami penderitaan rakyat justru mendapat fasilitas baru. Padahal di seberang jalan kantor DPRD, masih ada rumah-rumah reyot yang setiap musim hujan berubah jadi akuarium bocor. Di pelosok desa, ada keluarga yang tidak yakin atap rumahnya bisa bertahan sampai musim kemarau berikutnya. Tapi, tentu saja, masalah-masalah itu tampaknya kalah prioritas dibanding memastikan wakil rakyat punya rumah yang layak seolah-olah rumah kontrakan mereka sebelumnya tidak cukup instagramable.

Rakyat dan Rumah yang Terlupakan

Mari kita bicara fakta sederhana. Di Banyumas, jumlah rumah tidak layak huni masih ribuan. Banyak warga tinggal di hunian yang lantainya tanah, dindingnya bilik, atapnya bocor. Tidak sedikit pula yang harus menumpang ke rumah saudara atau pindah kontrakan saban tahun karena biaya sewa terus naik. Bagi rakyat kecil, rumah adalah perjuangan seumur hidup menabung bertahun-tahun, memohon keringanan kredit, atau jalan pintas paling populer: menggantungkan harapan pada pinjaman online.

Kontras dengan itu, anggota DPRD kini bisa bernapas lega. Tidak perlu pusing soal DP rumah, tidak perlu khawatir cicilan bulanan. Tunjangan perumahan hadir bagai oase di tengah gurun. Sayangnya, oase itu hanya dinikmati segelintir elite politik, sementara rakyatnya dibiarkan minum dari sumur utang.

Kalau ada lomba siapa yang lebih layak dapat subsidi rumah, rakyat pasti menang telak. Tapi sayangnya, dalam arena politik, logika itu sering kali kalah telak pula.

Tunjangan Offline vs Pinjaman Online

Ada perbandingan yang menggelitik. Rakyat hari ini berbondong-bondong mengunduh aplikasi pinjaman online untuk bisa bertahan hidup. Mereka rela menanggung bunga mencekik, teror debt collector, bahkan ancaman penyebaran data pribadi. Semua itu demi menambal biaya sekolah anak, bayar kontrakan, atau beli sembako.

Sementara itu, wakil rakyat cukup mengunduh lembar Perbup. Tidak ada bunga, tidak ada debt collector, tidak ada ancaman diteror via WhatsApp tengah malam. Yang ada justru tambahan kenyamanan dengan label “tunjangan.” Kalau rakyat mainnya pinjol, dewan mainnya perbup. Bedanya, yang satu bikin rakyat tambah miskin, yang satu bikin dewan makin betah tersenyum.

Wakil Rakyat, Tapi Wakil Siapa?

Pertanyaan klasik muncul lagi: wakil rakyat itu sebenarnya mewakili siapa? Kalau mewakili rakyat, mestinya mereka merasakan susahnya hidup di kontrakan sempit, mendengar tetangga ribut karena tunggakan listrik, atau ikut antre BPJS yang antrenya lebih panjang daripada daftar film di Netflix.

Tapi kenyataannya, yang mereka perjuangkan justru kenyamanan sendiri. Tunjangan rumah seakan jadi bukti bahwa politik kita lebih fasih bicara soal kursi dan fasilitas, daripada soal nasib rakyat yang diwakili.

Mungkin inilah yang disebut politik representasi terbalik: rakyat mewakili dewan dengan pajak, suara, dan legitimasi, sementara dewan membalasnya dengan tunjangan, bukan dengan kebijakan pro-rakyat.

Legal, Tapi Apakah Pantas?

Dari sisi hukum, pemberian tunjangan rumah memang punya dasar. Perbup yang ditekan punya payung aturan dari Permendagri hingga tata kelola keuangan daerah. Jadi kalau hanya ditanya legal atau tidak, jawabannya: sah-sah saja.

Tapi politik bukan cuma soal legalitas, melainkan juga soal kepatutan moral. Apakah pantas memberi tunjangan rumah kepada dewan di tengah kondisi rakyat yang masih banyak hidup pas-pasan? Apakah pantas dana publik digunakan untuk mempercantik kehidupan elite, sementara rakyat menambal bocor rumah dengan terpal seadanya?

Kalau politik hanya berhenti pada kata “legal,” maka semua hal bisa dibenarkan asal punya dasar hukum. Padahal, politik seharusnya juga menjawab pertanyaan: apakah ini bermanfaat bagi rakyat, atau hanya bermanfaat bagi segelintir orang?

Rumah dan Nurani Politik

Rumah memang penting. Tapi rumah bukan sekadar bangunan fisik, ia juga simbol nurani. DPRD boleh saja punya rumah nyaman berkat tunjangan, tapi kalau nurani politik mereka rapuh, itu sama saja membangun rumah di atas pondasi pasir. Megah di luar, runtuh di dalam.

Bagi rakyat Banyumas, rumah tetaplah perjuangan panjang: ada yang menabung bertahun-tahun, ada yang berutang sana-sini, ada yang bahkan belum bisa bermimpi punya rumah sendiri. Sementara itu, wakil mereka justru bisa tidur nyenyak di rumah tunjangan.

Inilah ironi demokrasi lokal: rumah dewan makin nyaman, rakyat tetap cari pinjaman. Dan jika situasi ini terus berlanjut, mungkin suatu hari rakyat tidak lagi mencari rumah—mereka hanya mencari alasan untuk tetap percaya pada politik yang makin lama makin terasa seperti komedi satir.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top