
Alunan gamelan mengalun tenang, diikuti irama saron dan kendang yang saling susul menyusul menjadi sebuah harmoni yang pas di telinga. Angin sepoi khas pesawahan meniup pelan, mengayun daun-daun di sekitar tenda hajatan yang ramai. Sepasang raja-ratu yang ‘membuat repot’ orang sekampung itu sedang senyum-senyum manja di atas pelaminan yang empuk dan sejuk.
Sebuah cerita pembuka yang mudah-mudahan bisa Anda bayangkan. Sebuah tulisan singkat yang saya rasakan ketika kondangan di wilayah Sukaharjo–Karanganyar, Jawa Tengah.
Sebagai orang pernah tinggal di beberapa kota. Saya merasakan betul kenikmatan kondangan, baik melahap sajiannya, ataupun bersuara bersama orang baru dan berdiskusi ngalor-ngidul. Di meja-kursi kondangan, seringkali ada ‘pakar’ ekonomi, politik, sosial, hingga pendidikan. Obrolan itulah yang juga terasa nikmat. Lebih pedas dari rendang (lebih tepatnya disebut kalio, debat rekan saya dari Sumatera Barat) atau lebih gurih dari Kerupuk yang disajikan.
Jika di Tangerang, kondangan (khitan ataupun pernikahan) banyaknya akan selesai dalam sehari penuh. Menutup jalan dan banyaknya dilakukan pada akhir pekan. Seringnya tidak ada kekhasan, paling-paling ada roti buaya kalau si empunya hajat ada darah Betawi atau ada pelaksaan tari ‘Mapag’ jika tuan rumah kental akan darah Sunda.
Bergeser ke Tegal, tanah kelahiran saya. Hajatan pernikahan lebih repot. Bayangkan, di H-2 tenda hajat sudah siap menampung tamu, H-1 tamu sudah berdatangan (padahal pengantinnya masih bujang–gadis), Hari pernikahan dari pagi–siang, gelaran dilakukan di rumah mempelai perempuan, sore–malam dijemput keluarga laki-laki, mereka akan jejer berdua hingga hari berikutnya. Empat hari, Anda (jika keluarga si tuan rumah) akan disibukkan dengan rewangan (sinoman) yang entah sampai kapan. Bahkan, di beberapa daerah Tegal–Brebes masih diadakan ‘sarahan’ tradisi mengirimkan barang-barang rumah tangga dari keluarga laki-laki menuju keluarga perempuan, yang lebih seringnya seperti memindahkan seisi rumah.
Ke arah selatan, Banyumas. Sajian kondangan di sini, bagi saya lebih menyenangkan (prinsip jika Anda sebagai tuan rumah). Sajian kondangan di Banyumas bagi saya tidak ‘dipaksa-paksakan’. Anda akan menemui sajian oreg tempe di meja prasmanan, atau sayur mayur yang biasa ditemukan di meja makan kebanyakan masyarakat. Jajanan seperti jenang jaket, pang-pang, dan tentunya kacang tanah garing adalah favorit saya. Dalam praktiknya, hajatan pernikahan di Banyumas juga tak kalah merepotkannya seperti di Tegal. Dengan 3 hari pelaksaan, sudah cukup terbayang bagaimana repotnya panitia.
Nah, setelah Anda sedikit ‘wisata tratag’ di berbagai kota. Kita masuk ke Solo Raya. Kenapa Solo Raya? Coba, jika Anda sedang makan bakso atau mi ayam, kebetulan pedagangnya orang Wonogiri, Sukarjo, atau Boyolali. Jika Anda tanya, “Mas/ Pak/ Pakde dari mana?” Saya berani taruhan mi ayam semangkuk, mereka pasti akan bilang “Dari Solo.” Solo Raya terbentang dari Boyolali, Sukoharjo, Karanganyar, Wonogiri, Sragen, dan Klaten. Wilayah ini dikenal dengan akronim Subosukawonosraten dan merupakan pusat ekonomi, budaya, serta pariwisata yang penting di Jawa Tengah bagian selatan.
Oke, cukup. Saya tidak akan membahas perihal nama lagi. Mari kita masuk ke kondangan.
Perihal Kostum
Jika di kota Anda pernah kondangan di hotel dan bergaya standing party, Anda tidak kaget jika menjumpai orang-orang akan memakai jas, lengkap dengan dasi. Kondangan di desa-desa Solo Raya, Anda akan menemukan banyak sekalian para tetua (yang kesehariannya petani, pedagang, dan peternak) dengan rapijali memakai jas, kemeja necis, dasi, hingga sepatu mengkilap.
Saya tidak memandang remeh pekerjaan. Seperti Pram, bagi saya semua orang yang bekerja adalah mulia. Akan tetapi, yang tersorot pada mata dan pikiran saya adalah kesakralan mereka yang memandang hajatan adalah ajang penghormatan. Menghormati tamu, menghormati tuan rumah, dan menghormati diri sendiri.
“Aji ning rogo niku soko busono, Le!” Ujar simbah.
Sebuah peribahasa Jawa yang kurang lebih memiliki arti, “Harga diri seseorang dilihat dari pakaiannya.” Peribahasa ini mengandung makna bahwa penampilan seseorang, termasuk pakaian yang dikenakan, dapat mencerminkan harga diri dan bagaimana orang tersebut menghargai dirinya sendiri.
Fenomena mbah-mbah rapijali ini bagi saya keren. Di balik keseharian pekerjaan yang dilalui dengan kaos hadiah pupuk, berlogo partai, atau apapun. Masing-masing dari Simbah ini punya setelan rapijali di rumahnya yang sederhana dan punya halaman pekarangan seluas lapangan voli.
Selain simbah berjas lengkap, saya juga menyoroti pakaian keluarga inti pengantin. Setelan atas bernama Beskap mencuri perhatian saya. Jika dilihat dan diamati, saya yakin Beskap adalah hasil akulturasi Jawa-Eropa. Dan benar saja. Beskap diadaptasi dari pakaian jas Belanda dan berasal dari kata beschaafd yang berarti civilized atau berkebudayaan. Warna kain beskap yang sering digunakan adalah hitam dengan desain sederhana dan kerah lurus tanpa lipatan, serta modelnya tidak simetris. Beskap kerap digunakan sebagai pakaian khas saat acara pernikahan adat Jawa dan umumnya dilengkapi dengan stagen, blangkon, jarik dan keris. Simbah berjas, tuan rumah dengan beskap. Pas, perpaduan Eropa-Jawa yang “nyeni puol!”
Pelayanan bintang 5 dari para Sinom
Mereka tidak perlu berucap, “Mau minum apa, Tuan?” Tapi memberikan pelayanan terbaik bagi para tamu. Kesan spektakuler saya justru ada pada mereka. Jika Anda belum pernah kondangan di daerah Solo Raya, saya yakin 100% Para Sinom akan menguras perhatian Anda. Bayangkan, ada sekelompok muda-mudi berseragam rapi, bersepatu atau bersendal pesta. Kemudian berbaris membawakan makanan dan minuman untuk para tamu undangan. Plus senyum manis dan gaya mempersilakan yang sangat sopan.
Sinoman ini adalah pengatur arus makanan dan minuman dalam hajatan di daerah Solo Raya. Biasanya, mereka akan membagikan sajian dalam 4 babak, beberapa kadang 3 babak. Ini juga pengaruh Eropa, sepertinya. Bayangkan, Anda duduk manis menikmati upacara pernikahan dan sajian diantarkan ke pangkuan. Setelah Ijab Qobul, babak 1 dimulai. Sebagai hidangan pembuka, makanan ringan beserta teh manis khas Solo diantar. Babak 2 setelah sambutan, Sop yang juga terinspirasi dari makanan Eropa (soup) segera mendarat di pangkuan. Babak 3 ditandai momen kedua pengantin sungkeman. Di tengah haru biru pengantin sungkeman, makan berat datang. Makan berat ini biasanya olahan daging sapi, bisa berupa kalio atau bistik. Lagi-lagi akulturasi Eropa. Babak 4, biasanya ditutup oleh es kopyor atau jeli yang akan dihantarkan di penghujung acara.
Keempat babak itu, diramu sangat asyik dan kompleks oleh para Sinom. Ketika saya iseng bertanya, ternyata ‘mereka tidak dibayar’. Mereka terkonvensi oleh aturan moral dan sosial antara satu sama lain. Jika kita menilik Travis Hirschi (sayangnya beliau Amerika, bukan Eropa) “Manusia cenderung patuh pada hukum dan norma sosial karena adanya ikatan sosial yang kuat dengan masyarakat.” Inilah yang membuat Sinoman terus bergulir.
Ada hukum tidak tertulis menyebutkan bahwasanya, “Barangsiapa pemuda sering sinoman kepada orang lain, niscaya di hari pernikahannya kelas pemuda lain juga akan sinoman kepadanya”.
Walaupun saya hanya menulis 2 sub-bab, tapi percayalah akulturasi Eropa-Jawa dalam kondangan di daerah Solo Raya lebih dari itu. Makanan, pakaian, belum lagi lagu keroncong bercampur dangdut yang khas.
Sebagai penutup, fenomena kondangan “kebarat-baratan” di Solo Raya mencerminkan akulturasi budaya yang harmoni dan terus berkembang. Di satu sisi, tradisi Jawa tetap menjadi akar yang kuat, namun di sisi lain, pengaruh Eropa menghadirkan warna baru dalam tatanan budaya dan sosial masyarakat. Perpaduan ini bukan sekadar gaya, melainkan bentuk adaptasi dan kreativitas yang memperkaya khazanah budaya lokal. Selama nilai-nilai kebersamaan dan gotong royong tetap dijaga, makanan kondangan tetap beragam dan enak, serta musik pengantar hajatan tetap syahdu menggema, maka, “Aku mau kondangan seribu tahun lagi!”

Penulis dan pengajar di perguruan tinggi. Berkegiatan di Lembaga Kajian Nusantara Raya. Bersama penulis-penulis muda Banyumas ‘menguri-uri’ Logawa.id sebuah media publikasi karya sastra.