
Pada Senin 18 Agustus 2025, malam Selasa dengan gerimis lembut berdansa, kami tancap gas menuju Desa Pangebatan, Kecamatan Karanglewas, Kabupaten Banyumas. Tepatnya ke rumah yang terpampang plang berwarna hitam gelap bertuliskan “setan”, ditulis dengan kuas cat dan bercat putih. Sek ges, ini bukan rumah hantu loh ya. Melainkan rumah seorang seniman Banyumas yang sejak kecil sudah terbilang aneh, nyeleneh, dan cukup akrobatik dalam kehidupannya.
Barangkali orang kebanyakan sudah familiar dengannya, karena sudah banyak penelitian-penelitian yang mengupas riwayat hidupnya. Mulai dari yang dijadikan bahan artikel hingga tugas akhir kuliah sekalipun. Namun, mungkin yang lebih bermakna dari sekadar biografi seorang seniman adalah nilai artistik yang bercokol di baliknya, cara pandangnya terhadap kesenian, dan ide serta gagasannya. Kok ya ada, rumah dengan desain pocong, setan, dan tengkorak turut menghiasinya. Bisa jadi, ini sangat tidak ramah masyarakat dan lingkungan serta jauh dari kata wajar dan normal.
Sebelum beranjak ke hal yang lebih intim dan subtil, kurang kewes saja rasanya jika tidak di-spill barang sedikit, tentang “siapa itu Titut Edi Purwanto?” Pria berbadan tinggi dan berambut gondrong ini lahir di Banyumas pada 18 September 1965. Beliau adalah buah hati dari sejoli H. Kirwanto dan Hj. Siti Satingah. Sejak dini seusia SD (Sekolah Dasar), ia sudah pandai mencipta lagu dan menggambar. Jadi memang geliat seninya sudah aktif bermekaran sedari kecil. Saat teman-teman sebayanya asyik dengan bermain bola, ia justru asyik sendiri dengan rengeng-rengeng, ngedumel, berpuisi, danmembaca alam (istilah Titut membaca seni kejadian).
Seni itu lahir
Bagi Abah Titut (panggilan akrab beliau) – mungkin panggilan tersebut karena emang dia sudah sepuh (baca: tua) ilmu dan pengalamannya dalam berkesenian – seni itu lahir. Adapun kreatifitas itu sah-sah saja. Orang yang kreatif dalam berkesenian, mencipta karya seni, menggambar, melukis, berpuisi, menari, dan bermain teater, dan lain sebagainya, sah-sah saja disebut seniman. Toh itu juga berangkat dari kerja kerasnya, pergaulannya, dan lingkungannya.
Bagi Abah Titut, memang benar dan ia pun mengiyakan secara tidak langsung, bahwa seni ada yang berangkat dari bakat sejak lahir dan ada juga seni yang berangkat dari usaha serta kerja belajarnya. Namun, Abah Titut sendiri lebih cenderung dengan mazhab: seni itu lahir. Seni adalah bakat yang tak lain bawaan dari lahir atau orang jawa menyebutnya dengan sebutan gawan bayi/gawan lair.
Apalagi seni membaca kejadian, seni membaca aksara langit, membaca angin, membaca hujan, membaca alam dan hal-hal lainnya yang secara jelas tidak tertulis gamblang menggunakan huruf atau aksara latin. Hal demikian dengan istilah-istilah Titut yang baru disebutkan tadi, olehnya sudah termanifestasi sejak kecil. Dan seni baginya memang sudah digariskan oleh Tuhan Yang Maha Seni dan merupakan titah dari-Nya. Hari ini mungkin istilah Titut tentang “seni kejadian”, bisa diartikan dengan “refleksi.”
Kami rasa daya refleksi Abah Titut membaca fenomena kejadian yang mengada, meruang, dan mewaktu cukup bisa dibilang tinggi dan tajam dibanding orang kebanyakan. Dia bisa dengan mudah merekam dinamika alam sekitar dan merefleksikannya kemudian menjadikanya sebuah lagu atau karya seni lainnya. Lagu-lagu dan rihlah keseniannya sudah banyak yang rilis dan bergemuruh di Youtube @titutedipurwanto5507
Sebagai aktor utama di balik event Jerami Festival dan gema Mantra Cowongan, Abah Titut dalam berkesenian tidak menunggu datangnya suntikan dana dari pihak eksternal. Dia dalam berkesenian, baik berteater, melukis, berpuisi, mencipta sekalgus menyanyikan lagu, dan mementaskan Wayang Cumplung dan berkesenian lainya justru dominan berangkat dari keinginan pribadi dan dengan dana pribadi dengan tetap membuka pintu lebar-lebar bagi siapapun yang ingin berkolaborasi, berpartisipasi, dan menyuport denyut serta langkah jalannya sebuah kesenian.
Beliau berkesenian memang atas dasar suka dan cinta. Maka tak heran jika ia bermazhab: “seni itu lahir.” Baginya, berkesenian tak lain untuk menghibur diri sendiri, menemukan keutuhan dirinya sendiri, dan bercumbu rayu dengan alam serta Tuhannya sendiri. Kami menyebut Titut (meski sedikit kelakar) dengan sebutan manunggaling kawula seni. Mohon maaf jika itu berlebihan. Hehe.

Mencipta daya ganggu
Titut menyebut: “Idealnya masing-masing dari kita, utamanya seniman, budayawan, dan sastrawan harus mencipta daya ganggu.” Ia mencontohkan, seperti halnya Doel Sumbang punya “kalau bulan bisa ngomong” dan Ebiet G. Ade punya tanyakan “kepada rumput yang bergoyang”, dan seniman-seniman lainnya dengan daya ganggunya masing-masing. Sepemahaman kami terkait “daya ganggu” yang dikehendaki Titut mungkin adalah sifat atau nilai yang mengusik benak dan kestabilan pikiran orang yang bersinggungan dengan karya seseorang.
Selanjutanya, daya ganggu juga merupakan ciri khas, karakteristik, variabel, atau sifat yang menjadikan orang-orang ketika mendengar karya salah seorang seniman, mereka akan teringat orangnya atau sebaliknya, menyebut orangnya, teringat karyanya. Dengan kata lain, publik mengalami fase “terngiang-ngiang.” Di sinilah letak daya ganggu menjadi diferensiasi – bagi seniman – dari sekian banyaknya seniman lainnya dengan segenap pergulatan karya-karyanya. Dengan adanya daya ganggu yang dicipta seniman, ia memiliki kekhasan tersendiri yang menjadi nilai tawar untuk publik dan memberikan kebaruan atau setidaknya angin segar dalam spektrum kesenian dan kebudayaan. Di sinilah pentingnya penciptaan daya ganggu dari seorang seniman.
Dalam hal ini, Titut mencipta daya ganggunya sendiri tidak hanya dalam karya dan laku kreatif seninya. Cara ia berpenampilan pun sudah memiliki daya ganggu yang cukup mendobrak, meresahkan, cum menggaduhkan benak dan keberlangsungan pikiran. Bagaimana tidak? Abah Titut – dengan perawakan tinggi semampai, model gaya rambut gondrong, berjubah putih atau hitam, dan kadang berblangkon kadang tidak – bisa dibilang cukup menawarkan daya ganggu. Style seniman yang nyerempet-nyerempet (baca: mirip-mirip) dukun adalah bagian dari daya ganggunya yang ia cipta sendiri.
Tak hanya itu, daya ganggu yang disajikan oleh Titut juga terlihat dari caranya mendesain rumahnya sendiri. Rumah dengan corak atribut yang beragam seperti halnya, plang bertuliskan “setan”, replika pocong, lukisan-lukisan abstrak, dinding berlukisan lanskap hutan dengan sabana dan rimbun pepohonannya, dan bahkan kata beliau dulu juga pernah replika tengkorak bergelantungan di langit-langit rumah.
Dengan cara Titut mengekspresikan nilai artistik dalam dirinya, hampir segenap apa yang bersinggungan dengannya dijadikan medan berkesenian atau perangkat mengejawantahkan kemelut seni yang bergejolak dalam dirinya. Dari sini kita juga bisa pahami, bahwa medium seni sangatlah bisa apa saja. Tak perlu menunggu sempurna (dalam artian seperangkat alat berkesenian terpenuhi) untuk memulai berkarya dan menunaikan ibadah berkesenian.

dari Banyumas menyapa Indonesia