Antasena, Ksatria Pemberani Tanpa Basa-Basi

Cerita Wayang Purwa

Dunia Wayang Jawa Kuno (Wayang Purwa) yang beberapa tahun ini mulai muncul kembali setelah banyak kelompok usia muda mulai menggemari wayang kulit. Terutama yang bercorak zaman Wayang Purwa. Wayang Purwa diakhiri dengan kisah Baratayudha atau dalam dunia Wayang Jawa masuk dalam babak Rubuhan Duryudono.

Cerita wayang kulit memang menarik. Dasar cerita yang menjadi acuan adalah kitab Mahabarata –Kitab sastra klasik dari India. Tokoh utama dalam naskah tersebut menceritakan “Trah Kuru” yang menguasi wilayah Astina (Hastinapura), yang melahirkan turunan dari pihak Destarastra yang disebut Kurawa (berisi 100 kerabat di antraranya Duryudana, Dursasana, Dursilawati, Kartamarma, Durmogati, Bogadenta, dll) dan turunan Pandu Dewayana yang disebut Pandawa (Puntadewa, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa). Juga merangkum “Trah Mandura”, yang melahirkan turunan Baladewa (Balarama), Krisna (Narayana) dan Setyaki. Di mana kelompok besar ini yang dalam Baratayudha menjadi aktor utama dengan vaksi masing-masing. Pihak Kurawa didukung oleh Baladewa, walau dia tidak ikut dalam pertempuran Baratayudha dan disokong oleh Bhisma sang putra mahkota Astina yang gagal menjadi raja karena konflik sesuatu hal. Dan untuk pihak Pandawa disokong oleh Raja Dwarawati yang digawangi oleh Krisna dan Setyaki.

Namun, kita tidak membedah kelompok utama dalam cerita wayang yang ada dalam kitab sastra Mahabarata, namun kita membedah tokoh yang masuk dalam Kitab Pustaka Raja yang ditulis oleh Pujangga Jawa Ranggawarsita. Tokoh-tokoh yang ditambahkan untuk menghias dan melengkapi perjalanan cerita Mahabarata versi Jawa. Kalau di dunia Wayang Jawa disebut tokoh atau cerita carangan (keluar dari pakem). Siapa dia? dia adalah Anatasena atau Ontoseno.

Ontoseno menurut Kitab Pustaka Raja yang digunakan dasar Wayang Gagrak Jogja merupakan anak dari Brotoseno atau Bima atau Werkudara, yang ke 3 (Ontorejo, Gatotkaca dan Ontoseno). Di mana kalau menceritakan anak dari Pandawa yang terkenal adalah Gatotkaca dan Abimanyu. Karena kedua tokoh tersebut andil dalam pertempuran di Baratayudha. Namun si Ontseno tidak andil dalam perang Baratayudha tersebut. Sedang menurut Ki Purbo Asmoro dalam serat Purwakanda yang menjadi dasar pewayanagan Gagrak Surakarta, Ontoseno adalah si Ontorejo, jadi bukan berdiri sendiri dalam satu tokoh. Tapi kita tidak membahas ini karena semua versi bagus untuk diikuti. Gagrak sendiri adalah model atau versi dalam pedalangan.

Ontoseno anak dari Werkudara dengan Dewi Urang Ayu anak dewa laut Sang Hyang Baruna, Di mana Urang Ayu adalah hadiah dari Sang Hyang Baruna kepada Werkudara karena berhasil memenangkan sayembara membuat sungai bernama Serayu.

Sifat “Ndugal Kewarisan”

Sosok Ontoseno menjadi simbol yang menarik untuk dipelajari. Karena sifat dan ketangguhan serta keikhlasan menjadi watak dalam tokoh satu ini. Sahabat karibnya adalah Wisanggeni, anak Arjuna. Mereka berdua dikenal dengan “Ndugal Kewarisan”, sebab tingkah mereka yang konyol, pemberani, kemlinthi dan besedia membela kebenaran entah siapapun yang dia hadapi. Dia berani mengkritik bapaknya sendiri karena berbuat tidak benar karena mengusir adiknya Sadewa dan Arjuna karena ada konflik yang mana adiknya berada dalam jalan yang benar, namun Werkudara tidak terima jika pendapatnya dibantah. Ontoseno membuat keributan dengan bapaknya dengan tujuan mengingatkan agar sadar. Juga keberanian membuat onar di kayangan Suralaya tempat kediaman Batara Guru. Karena Ontoseno menggugat sekelas dewa tidak mengetahui keberadaan manusia sedang berada, yang mana Ontoseno mencari bapaknya yang ternyata sedang bertapa meminta keberkahan kepada dewa tetapi didiamkan oleh para dewa (Batara Guru). Akhirnya Ontoseno bertemu dengan Sang Hyang Wenang (Sang Hyang Tunggal) dan menenangkan supaya Ontoseno bersikap lebih bijaksana.

Keberanian dalam membela hak orang yang tertidas oleh kelompok atau sebuah sistem juga menjadi nilai tersendiri. Menggugat dan mengkudeta Duryudana karena telah sewenang-wenang menggunakan kedudukan sebagai Raja Astina. Dan bersama Wisanggeni mengggulingkan Betari Durga dari kedudukan sebagai raja di Setra Gandalumayit. Kemudian Wisanggeni menjadi raja dan Ontoseno menjadi patihnya. Maksud dari kisah tersebut adalah dia tidak segan dan tidak pilih siapa saja yang dianggap keliru akan dia ingatkan dan dia beri pelajaran agar sadar.

Kelebihan lain adalah dia bisa mengetahui sebelum kejadian seperti halnya kelebihan yang dimiliki oleh pamannya –Kresna. Kelebihan ini yang kemudian membuat dia lebih hati-hati dalam bersikap dalam mengambil keputusan. Sehingga dalam lakon-lakon yang memunculkan Ontoseno dia seorang yang tidak mudah tersulut oleh sebuah amarah.

Sikap tahu diri menjadi juga karakter Ontoseno. Dia tidak bersedia menjadi raja karena dia tidak bisa unggah ungguh –bersikap sopan—terhadap siapa saja. Unggah ungguh yang dimaksud adalah dia tidak bisa berbahasa Krama Inggil –tingkatan Bahasa Jawa yang halus. Meskipun tidak mau menjadi raja dia adalah koordinator lapangan yang ulung, mampu mengelola medan pertempuran, mengelola permasalahan lapangan dengan cerdas, sehingga kelompok yang dibawanya selalu mendapat kemenangan. Kecuali satu babak lakon di cerita Begawan Dewa Wisa yang mana 90 persen pasukannya dapat dikalahkan oleh musuh dan dia mencari bantuan bersama Wisanggeni.

Akhir Hidup Antasena

Seperti anak-anak Pandawa lainnya (terutama anak dari Werkudara dan Arjuna) hampir semuanya mati baik dikarenakan Baratayuda (Sumitra, Wiluganggo Abimanyu, Gatotkaca) maupun sebelum perang berlangusng (Ontorejo, Ontoseno dan Wisanggeni). Namunn versi Baratayudha menang ketiga nama tersebut tidak masuk, namun versi Jawa ketiga nama tersebut menjadi tokoh punggawa atas keberlangsungan hidup Pandawa. Ontorejo mati menjadi tumbal perang. Ontoseno dan Wisanggeni bertaruh membasmi Betari Durga dan Batara Kala sebelum perang Baratayudha Berlagsung. Dan mereka berhasil menumpasnya. Saat Betari Durga dan Batara Kala akan mendukung Kurawa.

Mengapa mereka gugur sebelum Baratayudha? Menurut para dewa akan terjadi tidak keseimbangan antara Pandawa dan Kurawa dalam menghadapi perang. Sehingga kodrat dewa tidak bisa berjalan dengan semestinya. Karena dalam Baratayudha adalah tempat membalas hutang antara Pandawa dan Kurawa dan vaksi-vaksi yang terkait. Karena kekuatan mereka (Ontoseno) yang berlebih dari yang lain, maka perang tidak akan berjalan seimbang dan bahkan akan gagal jalannya kodrat.

Ada dua versi cerita tentang kematian Ontoseno, namun semua menunjukkan bagaimana niat dan keihlasan atas keinginan yang dia harapkan. Yaitu bisa membantu Pandawa menjalani perang. Dia harus digagalkan dan dia menerima dengan keikhlasan dan tanpa permintaan tawar menawar yang rumit. Versi pertama, dia mati Kuswa di tangan kakeknya sendiri Sang Hyang Baruna ketika dia memohon izin untuk berangkat ke arena perang Baratayudha dan yang kedua dia bersama Wisanggeni setelah berhasil mengalahkan Betari Durga dan Batara Kala, kemudian dia menghadap Sang Hyang Tunggal. Mereka –Ontoseno dan Wisanggeni—tidak diizinkan mengikuti perang dan harus segera kembali ke alam kasuarga.

Cerita wayang bisa menjadi pelajaran menarik dari setiap langkah dari berbagai babak yang berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Penuh makna, banyak ajaran yang dibawakan oleh Ontoseno. Salah satunya adalah keberaniannya menghadapi Baladewa. “Nek bener ojo minger, nek kepengkuk ojo menggok”(kalau benar jangan takut, kalau tersudut jangan takut),itulah yang diucapkan Ontoseno saat beradu dengan Baladewa.  

Rahayu.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top